Selasa, 25 September 2018

Sore itu di Ipukan



Hari mulai sore ketika hujan reda, aku mulai bersiap untuk pulang. Mengambil ransel lalu melangkah keluar dari tempat berteduh ini.

Baru saja keluar tiba-tiba aku melihat sesosok yang tidak asing bagiku. Ia terlihat kepayahan membawa tas gunung, kaki-kakinya terus melangkah meski kondisi tanah sedikit menanjak. Hari itu tak ada riasan yang menempel di wajahnya. Namun ia tetap terlihat cantik dengan rambut yang dikuncir.

Tiba-tiba dadaku berdesir. Bagaimana tidak? Dia adalah orang yang pernah menancapkan luka yang kelewat dalam padaku. Sejak dulu aku sudah mencoba melupakan semua tentangnya. Dan datang ke tempat ini merupakan salah satu usahaku.

Hingga akhirnya ia melihatku dan untuk sesaat kami sama-sama saling diam, mungkin memang pertemuan ini tidak pernah terpikir sebelumnya.


"Hai, kesini juga?" Ia memecah hening diantara kita berdua.

"Iya, ini baru aja turun"

"Naik lagi yuk"

Aku hanya membalas dengan senyuman.

"Yaudah aku naik duluan yaa" Ucapnya seolah mengerti apa yang aku rasakan saat itu.


Kemudian iya pergi, tubuhnya perlahan hilang dari pandanganku. Dia meninggalkanku kembali, namun kali ini dengan perasaan yang berbeda. Entah mengapa aku merasa hidup, harapan-harapan itu kembali muncul. Seluruh usahaku melupakannya seketika runtuh begitu saja.

Ramadan dua tahun lalu


Ramadan dua tahun lalu kita bertemu di cafe pinggiran kota, atau sebuah kedai kopi. Entahlah. Aku tak tahu seharusnya menamai tempat itu apa. Saat itu adalah kencan pertamaku. Yang pertama setidaknya untuk beberapa tahun belakangan. Aku pikir kau tidak keberatan jika aku menyebutnya kencan. Jika kau keberatan, aku akan ganti bagian ini.

Setelah sampai di tempat ternyata aku terlambat. Akupun langsung memesan. Kalau boleh jujur aku tidak tahu jenis minuman di sana, terlalu banyak nama untuk segelas kopi. Bukan apa, yang  kutahu kopi itu kalau tidak hitam ya coklat. Kalau tidak pahit ya manis. Itu saja.

Setelah duduk dan pesanan datang, kita berbincang. Kau terlihat begitu tenang dengan menyilangkan kakimu, dan sesekali kau menambahkan gula ke kopimu lalu mengaduknya begitu pelan sambil matamu terus menatapku.

Dari semua obrolan malam itu ternyata banyak hal yang aku lewatkan tentangmu. Aku selalu berpikir bagaimana bisa? Aku mengenalmu sudah begitu lama. Apakah selama ini kau tak terlihat olehku atau aku yang tak terlihat olehmu?

Yang pasti sejak pertemuan itu aku merasa lebih bahagia, aku punya alasan untuk bangun pagi dan mengucapkan selamat pagi, atau jika aku bangun terlambat kau yang mengucapkannya. Bahkan sekarang aku tahu apa itu espesso. Ya, karena kau suka itu.

Sekali lagi, kau tidak keberatan kan aku menyebutnya sebagai kencan?

Tak perlu banyak pertanyaan

Meskipun sekali waktu sempat terbesit untuk meninggalkanmu, nyatanya pagi ini aku masih juga terbenam dipelukmu dengan sisa-sisa kebahagiaan semalam.

Aku tahu jatuh cinta itu sangat mudah. Kita bertemu di bar sore itu, kau dengan masalahmu, aku dengan masalahku.

Jika kau tanya apakah aku mencintaimu? 
Aku tak tahu.

Dia, Naoko.


Seperti biasanya dia memintaku untuk menemaninya di hari libur. Namun kali ini ada yang berbeda, dia bilang ingin menikmati suasana kota dengan berjalan kaki. Aku menuruti saja.

Karena jarak kami lumayan jauh, kami pun sepakat bertemu di stasiun. Aku melihatnya, dia sangat cantik hari itu, tapi matanya begitu kosong saat menatapku, dan tidak seperti biasanya, kali ini dia lebih banyak diam, dan bahkan tidak menyambutku sama sekali. 

Sudah setengah perjalanan kami mengelilingi setiap sudut kota ini, langkahnya pelan, semakin jauh semakin pelan, mulutnya masih diam sejak pertama kita bertemu di stasiun, tanpa bicara sepatah katapun. Hanya saja tangannya semakin lama semakin kencang menggengam tanganku, seakan-akan ada sesuatu yang ingin dia katakan.

Di sebuah taman dekat sungai kami berhenti, dia masih tetap diam dan menunduk, bibirnya bergetar. Aku tahu ada yang berbeda, tapi aku terlalu bodoh untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya dia menarikku untuk kembali jalan menuju stasiun tempat kami bertemu, kami berpisah, dia memelukku, lalu masuk ke dalam kereta.