Kenapa ya makin banyak orang berlomba-lomba untuk cepat menikah?
Saya jadi penasaran, apakah fenomana ini terjadi diluar sana, atau memang cuma di lingkaran pertemanan saya?
Soal nikah menikah ini, saya sering mendengar bahwa banyak orang katanya kesal karena selalu ditanya kapan menikah.
Jujur saja selama ini saya belum pernah ditanya kapan menikah sesering itu, bahkan saya lupa kapan terakhir kali ditanyai soal kapan menikah.
Kalau kalian mau tahu, seumur hidup saya belum pernah bawa perempuan ke rumah.
Bukan karena gak pernah punya pacar, tapi memang sepertinya saya belum siap untuk bawa pacar ke rumah.
Pernah sih sekali, itupun bukan karena sengaja saya bawa dia kerumah. Kebetulan saat itu saya pacaran dengan teman main saya sendiri.
Jadi ceritanya saat itu saya sedang sakit, dia dan teman-temannya- bisa dibilang teman-teman saya juga- datang kerumah untuk melihat keadaan saya.
Dan bisa jadi cuma dia satu-satunya pacar saya yang datang ke rumah.
Dari situ saya sadar, mungkin karena alasan itu saya jarang sekali ditanya kapan menikah, wong calonnya siapa saja mereka gak tahu.
Kembali lagi ke pertanyaan diatas, kenapa makin banyak orang berlomba-lomba untuk cepat menikah?
Untuk saya pribadi, sampai hari inipun saya belum pernah membayangkan saya akan menjalani pernikahan.
Menikah itu masih sangat jauh dari pikiran saya, karena saat ini yang paling utama adalah bagaimana semua cita-cita saya tercapai, bagaimana semua pikiran-pikiran liar saya akan terealisasi dalam bentuk nyata.
Banyak. Sangat banyak hal yang ingin saya lakukan sebelum memutuskan untuk menikah.
Sesekali saya pernah coba bertanya pada teman saya yang sudah menikah, kenapa mereka akhirnya memutuskan untuk menikah?
Jawaban mereka rata-rata mengecewakan, mereka menikah bukan karena siap, tapi karena umur.
Mereka bilang menikah itu harus semuda mungkin agar saat anak kita tumbuh dewasa, usia kita juga belum terlalu tua, sehingga saat mereka butuh sesuatu kita masih sanggup untuk berusaha memenuhinya.
Memang benar, secara analogi itu sangat ideal.
Tapi mereka seolah lupa satu hal. Dengan kondisi kita menikah di usia terlalu muda apakah mental dan emosi kita sudah cukup stabil untuk menjadi orang tua yang layak untuk anak kita?
Berpikir ke jauh ke depan memang bagus, tapi ada kalanya kita harus berpikir lebih terstruktur.
Memang suatu hari anak kita akan tumbuh dewasa, tapi tentu saja mereka tidak secara tiba-tiba menjadi dewasa.
Anak kita akan terlahir sebagai bayi, makhluk kecil yang belum bisa apa-apa selain menangis.
Ingin makan nangis, ingin minum nangis, kepanasan saat tidur nangis, dengar suara berisik nangis.
Apalagi kalau ditambah dengan dengan pipis di celana, eek di celana, susah makan, susah tidur, dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat kita harus ekstra sabar.
Disinilah bagaimana mental dan emosi kita diuji.
Apakah kita sanggup untuk menghadapi semua kemungkinan-kemungkinan itu?
Apakah emosi kita sudah cukup stabil untuk menghadapi betapa rewelnya anak kita nanti?
Apakah kita sanggup membagi waktu antara untuk anak dan pasangan kita?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang seharusnya jadi pertimbangan saat memutuskan untuk menikah.
Karena kalau ternyata kita belum benar-benar siap dalam situasi tersebut, siapa yang menjamin anak kita akan tumbuh dewasa sesuai harapan kita?
Atau yang paling menyakitkan, siapa yang menjamin kalau anak kita akan tetap bisa bersama kita hingga ia dewasa?
Dan semua itu belum ditambah bagaimana kalau kondisi keuangan kita tidak sehat?
Entahlah, saat memustukan untuk menikah memang seharusnya perlu banyak pertimbangan, tapi saya sadar bahwa tidak semua orang punya kesempatan untuk itu.
Mungkin beberapa dari mereka menikah karena keadaan yang mengharuskan mereka untuk menikah, hanya saja kita tidak pernah kita tahu apa penyebabnya.
Tapi kalau saya ditanya kapan menikah, mungkin tulisan ini bisa jadi jawaban dari petanyaan itu.
Salam.