Minggu, 16 Juni 2019

Jadi, kapan menikah?

Kenapa ya makin banyak orang berlomba-lomba untuk cepat menikah?

Saya jadi penasaran, apakah fenomana ini terjadi diluar sana, atau memang cuma di lingkaran pertemanan saya?

Soal nikah menikah ini, saya sering mendengar bahwa banyak orang katanya kesal karena selalu ditanya kapan menikah.

Jujur saja selama ini saya belum pernah ditanya kapan menikah sesering itu, bahkan saya lupa kapan terakhir kali ditanyai soal kapan menikah.

Kalau kalian mau tahu, seumur hidup saya belum pernah bawa perempuan ke rumah.

Bukan karena gak pernah punya pacar, tapi memang sepertinya saya belum siap untuk bawa pacar ke rumah.

Pernah sih sekali, itupun bukan karena sengaja saya bawa dia kerumah. Kebetulan saat itu saya pacaran dengan teman main saya sendiri.

Jadi ceritanya saat itu saya sedang sakit, dia dan teman-temannya- bisa dibilang teman-teman saya juga- datang kerumah untuk melihat keadaan saya.

Dan bisa jadi cuma dia satu-satunya pacar saya yang datang ke rumah.

Dari situ saya sadar, mungkin karena alasan itu saya jarang sekali ditanya kapan menikah, wong calonnya siapa saja mereka gak tahu.

Kembali lagi ke pertanyaan diatas, kenapa makin banyak orang berlomba-lomba untuk cepat menikah?

Untuk saya pribadi, sampai hari inipun saya belum pernah membayangkan saya akan menjalani pernikahan.

Menikah itu masih sangat jauh dari pikiran saya, karena saat ini yang paling utama adalah bagaimana semua cita-cita saya tercapai, bagaimana semua pikiran-pikiran liar saya akan terealisasi dalam bentuk nyata.

Banyak. Sangat banyak hal yang ingin saya lakukan sebelum memutuskan untuk menikah.

Sesekali saya pernah coba bertanya pada teman saya yang sudah menikah, kenapa mereka akhirnya memutuskan untuk menikah?

Jawaban mereka rata-rata mengecewakan, mereka menikah bukan karena siap, tapi karena umur.

Mereka bilang menikah itu harus semuda mungkin agar saat anak kita tumbuh dewasa, usia kita juga belum terlalu tua, sehingga saat mereka butuh sesuatu kita masih sanggup untuk berusaha memenuhinya.

Memang benar, secara analogi itu sangat ideal.

Tapi mereka seolah lupa satu hal. Dengan kondisi kita menikah di usia terlalu muda apakah mental dan emosi kita sudah cukup stabil untuk menjadi orang tua yang layak untuk anak kita?

Berpikir ke jauh ke depan memang bagus, tapi ada kalanya kita harus berpikir lebih terstruktur.

Memang suatu hari anak kita akan tumbuh dewasa, tapi tentu saja mereka tidak secara tiba-tiba menjadi dewasa.

Anak kita akan terlahir sebagai bayi, makhluk kecil yang belum bisa apa-apa selain menangis.

Ingin makan nangis, ingin minum nangis, kepanasan saat tidur nangis, dengar suara berisik nangis.

Apalagi kalau ditambah dengan dengan pipis di celana, eek di celana, susah makan, susah tidur, dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat kita harus ekstra sabar.

Disinilah bagaimana mental dan emosi kita diuji.

Apakah kita sanggup untuk menghadapi semua kemungkinan-kemungkinan itu?

Apakah emosi kita sudah cukup stabil untuk menghadapi betapa rewelnya anak kita nanti?

Apakah kita sanggup membagi waktu antara untuk anak dan pasangan kita?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang seharusnya jadi pertimbangan saat memutuskan untuk menikah.

Karena kalau ternyata kita belum benar-benar siap dalam situasi tersebut, siapa yang menjamin anak kita akan tumbuh dewasa sesuai harapan kita?

Atau yang paling menyakitkan, siapa yang menjamin kalau anak kita akan tetap bisa bersama kita hingga ia dewasa?

Dan semua itu belum ditambah bagaimana kalau kondisi keuangan kita tidak sehat?

Entahlah, saat memustukan untuk menikah memang seharusnya perlu banyak pertimbangan, tapi saya sadar bahwa tidak semua orang punya kesempatan untuk itu.

Mungkin beberapa dari mereka menikah karena keadaan yang mengharuskan mereka untuk menikah, hanya saja kita tidak pernah kita tahu apa penyebabnya.

Tapi kalau saya ditanya kapan menikah, mungkin tulisan ini bisa jadi jawaban dari petanyaan itu.

Salam.

Rabu, 29 Mei 2019

Arsenal, keyakinan itu masih ada.

Kalau ditarik kembali sekitar tahun 2008 atau 2009 mungkin itu pertama kalinya saya memutuskan memiliki tim sepakbola jagoan.

Bukan apa. Jika saat ini pertanyaan "Kapan nikah?" begitu ramai, justru di tahun itu pertanyaan yang sering ditanyakan teman-teman saya adalah "Tim bola jagoan kamu apa?" dan kalian tentu tahu saya menjawab apa.

Saat itu saya sudah suka sepakbola tapi belum benar-benar tahu siapa tim jagoan saya, pokoknya siapa yang menang, itu yang saya dukung.

Maka dari itu saya memutuskan untuk mencari tim sepakbola jagoan, mulai dari mencari di internet sampai membaca koran sepakbola.

Dalam kurun waktu pencarian itu, ada suatu momen ketika tiba-tiba di depan sekolah saya ada sebuah lapak pedagang yang begitu menarik perhatian.

Meski hanya digelar di atas terpal berukuran sedang dan lokasinya tepat dipinggir jalan tetapi itu tetap istimewa bagi saya, karena disana terdapat puluhan poster sepakbola, mulai dari logo klub, poster pemain secara full team, atau poster pemain secara individu.

Saat itu hype sepakbola Italia atau Serie A begitu besar, dengan tim seperti AC Milan yang pernah mendominasi Eropa, atau Inter Milan, Juventus dan AS Roma yang selalu berjibaku di Liga. Sayapun terbawa hype tersebut dengan membeli poster salah satu tim dari Italia tersebut: AS Roma

Alasan saya membeli poster AS Roma bukan karena mereka hebat tapi karena di sana ada pemain yang namanya mirip dengan nama saya, Francesco Totti. Konyol? Ya memang.

Tidak berhenti disitu, tadinya saya juga ingin beli poster Totti yang sedang menggocek atau menggiring bola, tapi ternyata tidak ada.

Karena poster Totti saat itu tidak ada, saya memustukan membeli poster pemain lain tetapi bukan pemain AS Roma.

Ia adalah pemain berkulit cokelat dengan potongan semi-plontos bernomor punggung 14 dengan tulisan jelas dibagian bawah: Theo Walcott - Arsenal.

Setelah membeli poster itu saya mulai penasaran dengan Arsenal, saya aktif mengikuti semua berita tentang mereka.

Saat itu Arsenal memang bukan tim favorit juara. Performa mereka angin-anginan, dan kualitas pemain cenderung dibawah rata-rata.

Tetapi saya menyadari satu hal tentang tim ini: Beberapa tahun sebelumnya ternyata Arsenal begitu hebat.

Dihuni pemain seperti duet maut Thierry Henry dan Dennis Bergkamp, gelandang powerfull Patrick Vieira, dan bek sangar Martin Keown ternyata tim ini pernah tak terkalahkan di Premier League pada musim 2003/2004.

Untuk alasan itu saya menjadikan Arsenal sebagai tim jagoan saya, dengan harapan dan keyakinan suatu saat mereka akan kembali menuju kejayaan yang saat itu hilang.

Dan hingga saat ini, keyakinan itu masih ada.

Victoria Concordia Crescit.

Senin, 31 Desember 2018

Ketergantungan yang menyenangkan

jika kau narkoba
aku akan menikmatimu setiap waktu;
kubiarkan zat adiktifmu menyeruak kedalam tubuh;

memporak-porandakan semestaku,
menghancurkan setiap langkahku,
dan merusak seluruh akalku.

meski pada akhirnya aku ketergantungan olehmu,
itu adalah ketergantungan yang menyenangkan
atau lebih dari itu;
jika aku mati; aku rela mati asal kau tetap ada dalam tubuhku.

Sabtu, 10 November 2018

Jauh 2

Semenjak kau pergi, aku jadi suka apapun yang kau suka. Aku ikut suka makanan yang kau makan saat kelaparan pada malam hari. Aku mendengarkan lagu yang pernah kau nyanyikan di depanku saat kau sedang sedih. Aku membaca buku yang pernah kau ceritakan. Aku menonton film yang pernah kau paksa aku untuk menontonnya juga; katamu ini film paling bagus yang pernah kau tonton.

Perasaan yang sama muncul saat aku melakukan itu semua: Aku merasakan kehadiranmu. 

Memang gila. Tapi begitulah aku. Lebih memilih untuk memelihara semua hal tentangmu agar kau tetap hidup meski dalam kenyataan paling pahit sekalipun, daripada terus berdebat tentang siapa yang bersalah atas kepergianmu.

Kau tak pantas menerima segala amarah untuk membuktikan bahwa seharusnya kau yang salah, bukan aku.

Karena bagiku kau terlalu sempurna untuk dirusak dengan sebuah kesalahan.

Rabu, 31 Oktober 2018

Jauh 1

Pada akhirnya kau dan aku saling menjauh, mulai merangkai kenyataan bahwa kita saling meniadakan satu sama lain; kau sudah menganggapku tak ada dan aku terlalu keras kepala untuk membuktikan bahwa akupun bisa sepertimu; menganggapmu tak ada.

Meski tanpa pernah kau tau bahwa aku masih diam-diam mengikuti langkahmu dari kejauhan, dari jarak yang lebih jauh dari sebelumnya.

Entah sampai kapan aku berjalan di belakangmu, aku hanya tak ingin merusak segala hal yang telah kau impikan.

Pada akhirnya tidak ada yang bisa aku lalukan selain tetap menjaga jarak ini dan menerima kenyataan bahwa kau sudah sempurna berdiri tanpa aku di setiap malammu sebagai orang yang kau jadikan tempat untuk menumpahkan segala keluh kesahmu; dan aku kehilangan satu-satunya pelanggan yang selalu datang menemuiku;

Yang duduk di depanku selama berjam-jam untuk mengadu tentang kekasihmu yang hari itu kembali mengecewakanmu.

Yang duduk di depanku selama berjam-jam untuk menyeka luka yang kau tunjukkan setiap menemuiku.